Oleh: Abu Amatillah Anshari
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji hanyalah milik Allah subhanahu wata’ala, Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarga, sahabat-sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga akhir zaman.
Kebahagiaan hidup dan ketenangan hati merupakan dambaan setiap orang karena dengan kebahagian, seorang akan hidup damai dan tentram. Hanya saja untuk mencapai kehidupan yang bahagia, masing-masing orang memiliki berbagai cara untuk mendapatkannya.
Ada di antara mereka yang menganggap bahwa kebahagiaan itu dapat diraih dengan mengumpulkan harta, pangkat yang tinggi dan juga memiliki kekuasaan. Ada pula menganggap bahwa kebahagiaan itu dapat diraih dengan memiliki banyak anak, pasangan yang cantik/tampan. Ada pula yang menganggap bahwa kebahagiaan dengan ketenaran, banyak pengikut, atau dengan cara keluar ke alam untuk menikmati pemandangan yang indah, dan lain sebagainya.
Padahal, kebahagiaan yang hakiki telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian juga para ulama melalui ucapan-ucapan mereka. Di antara ucapan tersebut adalah apa yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi’iy rahimahullah ketika beliau berkata:
سعادة الدنيا والآخرة في خمسة أشياء: غنى النفس, وكف الأذى, وكسب الحلال, ولباس التقوى, والثقة بالله تعالى على كل حال
“Kebahagiaan dunia dan akhirat ada pada lima perkara: 1) Kekayaan jiwa; 2) Menahan gangguan; 3) Usaha yang halal; 4) Pakaian ketakwaan; 5) Yakin kepada Allah subhanahu wata’ala dalam segala kondisi.” [Kitab al-Umm, juz I, hal. 37]
Dari keterangan di atas diketahui bahwa untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan lima hal,1 yaitu:
Pertama: Kekayaan Jiwa
Di antara konsep meraih kebahagiaan adalah memiliki kekayaan jiwa dan inilah hakikat kekayaan. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya:
“Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, no. 6446 dan Muslim, no. 1051]
Kekayaan hati/jiwa dapat diraih dengan memiliki sifat qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala. Apabila seorang mampu mengamalkan hadis di atas maka dia akan menjadi orang yang paling kaya, paling bahagia dan juga paling beruntung.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Artinya:
“Sungguh beruntunglah orang yang berislam, diberi rezeki yang cukup, dan dia dijadikan menerima apa pun yang diberikan Allah (kepadanya).” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1054]
Berdasarkan barometer dua hadits di atas, maka boleh jadi orang yang berpenghasilan dua juta perbulan dikategorikan sebagai orang kaya, sedangkan orang yang berpenghasilan sepuluh juta perbulan dikategorikan sebagai orang miskin. Mengapa? Karena orang pertama merasa cukup dengan uang sedikit yang ada di tangannya. Sedangkan orang kedua, dia selalu merasa kurang walaupun uang yang didapatkannya sangat banyak.
Oleh karena itu, dalam hadits Ubaidullah bin Mihshan radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya:
“Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidziy, no. 2346]
Kedua: Menahan Gangguan
Sebagaimana yang diketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antar sesama. Dan ketika kita berinteraksi dengan manusia, maka kita tidak boleh mengganggu mereka, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang karakter muslim yang paling baik, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya:
“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, no. 11 dan Muslim, no. 42, dari sahabat Abu Musa al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu]
Hadis di atas menunjukkan bahwa seorang muslim hendaknya menjaga lisan dan tangannya. Demikian pula sebaliknya, terkadang kita mendapatkan gangguan dari orang lain baik secara verbal maupun fisik, maka ini tentunya membutuhkan kesabaran.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ الناسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
Artinya:
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” [Diriwayatkan al-Bukhariy dalam al-Adab al-Mufrad, no. 388, at-Tirmidziy, no. 2507]
Di dalam hadis ini terdapat keterangan akan keutamaan bergaul dengan manusia daripada tinggal sendirian (uzlah) karena orang yang bergaul dengan manusia dapat mengajak mereka kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta dapat mengarahkan mereka dengan nasehat-nasehat yang berharga. Dengan begitu, maka ketentraman dan kebaikan akan menyebar di tengah masyarakat. [Dr. Muhammad Luqman as-Salafiy rahimahullah, Rasysyul Barad Syarah al-Adabil Mufrad, hal. 220]
Ketiga: Usaha/Pekerjaan yang Halal
Usaha/pekerjaan yang halal merupakan hal yang dituntut dari setiap muslim, agar rezekinya diberkahi oleh Allah subhanahu wata’ala. Terdapat beberapa keterangan dalam Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk mencari dan memakan dari rezeki yang halal, diantaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.” [Surah al-Baqarah, ayat 172]
Dan juga dalam hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersada:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Artinya:
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati hingga dia benar-benar telah menyempurnakan seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2144]
Hadits di atas merupakan motivasi bagi kita untuk mencari rezeki yang baik dan halal, sekaligus sebagai hiburan karena seseorang tidak akan meninggal hingga dia menyempurnakan semua rezekinya, sehingga dia tidak perlu khawatir akan kehabisan rezeki atau rezekinya berpindah kepada orang lain.
Keempat: Pakaian Ketakwaan
Ketakwaan merupakan pakaian dan bekal terbaik bagi seorang hamba di dunia ini untuk menempuh perjalanan ke negeri akhirat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’la:
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْر
Artinya:
“… dan pakaian takwa itulah yang paling baik …” [Surah al-A’raf, ayat 26]
Para ulama memiliki beberapa pendapat tentang makna (وَلِبَاسُ التَّقْوَى), diantaranya:
Terkait makna takwa (التقوىٰ), para ulama juga memiliki beragam ungkapan, diantaranya:
Dari ungkapan-ungapan di atas semuanya bermuara pada definisi bahwa takwa adalah mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Wallahu a’lam.
Kelima: Yakin Kepada Allah dalam Segala Kondisi
Konsep kebahagiaan yang kelima yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi’iy rahimahullah adalah yakin kepada Allah dalam segala keadaan, diantaranya:
Keyakinan kepada Allah subhanahu wata’ala bukan hanya sebab yang mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, akan tetapi keyakinan kepada Allah subhanahu wata’ala juga merupakan harta kekayaan seorang muslim.
Oleh karena itu, Abu Hazim rahimahullah pernah ditanya:
ما مالك؟ قال: لي مالان لا أخشى معهما الفقر: الثقة بالله واليأس مما في أيدي الناس. وقيل له: أما تخاف الفقر؟ فقال: أخاف الفقر ومولاي له ما في السموات والأرض وما بينهما وما تحت الثرى
Artinya:
“Apa hartamu? Dia berkata: ‘Saya memiliki dua harta yang dengan keduanya saya tidak takut miskin: yaitu 1) Yakin kepada Allah, 2) Berputus asa dengan apa yang ada di tangan manusia.’ Maka dikatakan kepadanya: ‘Apakah engkau tidak takut miskin?’ Dia berkata: ‘(Bagaimana) saya takut miskin sementara penolongku (Allah) yang memiliki apa yang ada di langit dan di bumi dan apa yang ada di antara keduanya serta apa yang ada di bahwa tanah.” [Ibnu Rajab, Jami’ al-Uluum wa al-Hikam, hal. 318]
Inilah lima konsep hidup bahagia di dunia dan di akhirat yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi’iy rahimahillah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa untuk meraih kebahagiaan sangatlah sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufiknya kepada kita semua.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa alaihi wshahbihi ajma’iin, walhamdulilahi Rabbil ‘alamin.
————