Rabu, 04 Des 2024
Home
Search
Menu
Share
More
abuamatillah pada Fikih
12 Jun 2024 01:48 - 9 menit reading

Amalan-Amalan yang Senilai dengan Ibadah Haji

Disampaikan pada kajian rutin di Masjid al-Furqan Minasa Upa, Makassar, 17 Dzulqa’dah 1445H/25 Mei 2024H
Oleh: Anshari, MA.

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. أما بعد:

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala nikmat-Nya sehingga kita dapat berkumpul di masjid yang sama-sama kita cintai untuk menunaikan shalat subuh secara berjamaah. Mudah-mudahan segala amalan kita diterima oleh Allah Subhanahu Wata’ala, dan segala dosa kita diampuni oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إلى الجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إلى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ ما بيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الكَبَائِرَ.


Artinya:
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan yang satu ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa antara keduanya selama tidak melakukan dosa besar.” (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 233).

Haji merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَلِله عَلَی النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيْلًا…

Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah….” (Surah Ali Imran, ayat 97).

Dan dari Abdullah bin Umar radhyiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.


Artinya:
“Islam itu dibangun di atas lima pondasi: Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadhan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim).

Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan dalam rangka menunaikan ibadah haji, mungkin ada yang tidak mampu dari sisi biaya, ada pula yang tidak mampu dari sisi kesehatan, atau mungkin tidak memiliki mahram bagi wanita, atau tersebarnya wabah, atau udzur syar’i yang lainnya.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa amalan yang pahalanya senilai dengan pahala ibadah haji, sebagai hiburan dan sekaligus motivasi bagi yang belum mampu menunaikan ibadah yang sangat agung ini (ibadah haji). Di antaranya:

Pertama: Melakukan Shalat Isyraq
Yaitu seseorang melakukan shalat subuh secara berjamaah, kemudian dia berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala hingga matahari terbit kemudian dia shalat dua rakaat. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ٬ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.


Artinya:
“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat dua raka’at, maka baginya (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy, no. 586 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy).

Dzikir dalam hadits di atas maknanya luas, masuk di dalamnya dzikir pagi, membaca Al-Qur’an, atau mengaji ilmu agama.

Kedua: Mempelajari Ilmu Agama
Ketiga: Mengajarkan Ilmu Agama
Dua poin di atas terkumpul dalam satu hadits. Sebagaimana disebutkan dari sahabat Abu Umamah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:


مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ٬ تَامًّا حَجَّتُهُ.


Artinya:
“Barangsiapa berangkat ke masjid, tidak menginginkan sesuatu kecuali jntuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang haji sempurna hajinya”. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy di dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, no. 7473, dinilai hasan shahih oleh syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib no. 86).

Hadits di atas menunjukkan tentang keutamaan menghadiri majelis ilmu, baik untuk belajar atau mengajarkan ilmu, keduanya akan mendapatkan pahala senilai pahala haji.
Di Masjid Nabawiy ada Raudhah sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


ما بيْنَ بَيْتي ومِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِن رِيَاضِ الجَنَّةِ، ومِنْبَرِي علَى حَوْضِي.


Artinya:
“Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah taman-taman Surga, dan mimbarku di atas telagaku.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, no. 1888).

Ketika manusia berdesak-desakan untuk masuk ke Raudhah yang ada di Masjid Nabawiy, maka seharusnya juga mereka berdesak-desakan untuk menghadiri majelis ilmu, karena majelis ilmu juga disifati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai taman-taman Surga. Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا ! قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ


Artinya:
“Jika kamu melewati taman-taman Surga, maka singgahlah.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, ‘halaqah-halaqah dzikir.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidziy, 3510).

Keempat: Berangkat Ke Masjid untuk Menunaikan Shalat Berjamaah.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَن خرَجَ مِن بيتِه متطهِّرًا إلى صلاةٍ مكتوبةٍ، فأجْرُه كأجرِ الحاجِّ المُحرِمِ.


Artinya:
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk menunaikan shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala haji yang berihram.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 558).

Hadits di atas juga menunjukkan akan dianjurkannya berwudhu di rumah sebelum berangkat ke masjid. Dan apabila seseorang melakukan hal tersebut, maka salah satu langkahnya akan mengangkat derajatnya sementara langkah yang lainnya akan menggugurkan dosa-dosanya. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مَنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً.


Artinya:
“Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya, yang satu menghapus kesalahan dan satunya lagi meninggikan derajat.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 666).

Kelima: Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Tidak diragukan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan amalan yang sangat besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Bahkan perbuatan ini dapat bernilai haji. Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:


إِنِّي أَشْتَهِي الْجِهَادَ وَلا أَقْدِرُ عَلَيْهِ، قَالَ: هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ؟ قَالَ: أُمِّي، قَالَ: فَأَبْلِ اللَّهَ فِي بِرِّهَا، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ، وَمُعْتَمِرٌ، وَمُجَاهِدٌ.


Artinya:
“Aku sangat sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya padanya apakah salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup. Ia jawab, ibunya masih hidup. Rasul pun berkata padanya, “Bertakwalah pada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 2915, dan Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 2760).

Berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan kewajiban bagi setiap anak, apakah orang tua masih hidup atau sudah meninggal.
Di antara bentuk berbuat baik kepada kedua orang tua yang masih hidup:

  1. Menaati kedua orang tua pada perkara yang bukan maksiat.
  2. Mendoakan keduanya.
  3. Merawat keduanya.
    Di antara bentuk berbuat baik kepada kedua orang tua yang sudah meninggal:
  4. Mendoakan dan memohonkan ampun keduanya.
  5. Menyambung tali silaturrahim kepada kerabatnya.
  6. Berbuat baik kepada teman-temannya.
  7. Bersedekah atas nama keduanya.

Keenam: Melaksanakan Umrah pada Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat agung dan mulia, bulan yang di dalamnya kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dan salah satu ibadah yang sangat ditekankan di bulan Ramadhana adalah ibadah umrah. Bahkan melaksanakan umrah di bulan Ramadhan senilai dengan ibadah haji bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: “bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang wanita:”


مَنَعَكِ مِنْ الْحَجِّ قَالَتْ أَبُو فُلَانٍ تَعْنِي زَوْجَهَا كَانَ لَهُ نَاضِحَانِ حَجَّ عَلَى أَحَدِهِمَا وَالْآخَرُ يَسْقِي أَرْضًا لَنَا قَالَ فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي.


Artinya:
“Apa yang menghalangimu untuk menunaikan haji?”. Wanita itu berkata: “Bapak si fulan, yang ia maksud suaminya, memiliki dua ekor unta yang salah satunya sering digunakan untuk menunaikan haji sedangn unta yang satunya lagi digunakan untuk mencari air minum buat kami”. Beliau bersabda: “‘Umrah pada bulan Ramadhan sebanding dengan haji atau haji bersamaku”. (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, no. 1863, Muslim, 1256).

Dalam lafazh Muslim disebutkan:


فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً.


Artinya:
“Umrah pada bulan Ramadhan senilai dengan haji.” (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1256).
Yang dimaksud adalah umrah Ramadhan mendapati pahala seperti pahala haji. Namun bukan berarti umrah Ramadhan sama dengan haji secara keseluruhan. Sehingga jika seseorang punya kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadhan, maka umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi. Dan inilah yang disebutkan oleh para ulama.

Ketujuh: Berdzikir Setelah Shalat
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:


جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا، وَيَعْتَمِرُونَ، وَيُجَاهِدُونَ، وَيَتَصَدَّقُونَ. قَالَ: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ. فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ. فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: تَقُولُ سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِله، وَاللهُ أَكْبَرُ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.


Artinya:
“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; mereka berkata: “Orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga mereka bisa haji, umrah, berjihad serta bersedekah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian, dan tidak ada seorang pun yang bisa mendapati setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, no. 843).


Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata:


فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.


Artinya:
“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berkata: “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda: “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Kedelapan: Memiliki Niat Yang Baik.
Di antara amalan yang sangat besar adalah memiliki niat yang baik. Artinya, ketika seseorang melihat orang lain melakukan amalan shaleh, lalu dia juga sangat berkeinginan seperti orang tersebut maka dia akan mendapatkan seperti orang yang melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ إِذَا مَآ أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَآ أَجِدُ مَآ أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا۟ وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا۟ مَا يُنفِقُونَ.


Artinya:
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (Surah at-Taubah, ayat 92).

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ.


Artinya:
“Sesungguhnya di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan dan tidak pula kalian melewati satu lembah kecuali mereka bersama kalian, mereka ditahan oleh penyakit.” (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1911).

Dalam riwayat yang lain:


إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِي الأَجْرِ.


Artinya:
“Kecuali bersama kalian dalam pahala.” (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1911).

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa ketika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu karena adanya udzur, maka dia tetap mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.
Hal ini juga dikuatkan dalam hadits Abu Kabsyah an-Namariy radhiyallahu ‘anhu:


إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ.


Artinya:
“Sesungguhnya dunia untuk empat golongan: 1) Seorang hamba yang dikaruniai oleh Allah harta dan ilmu. Dengan ilmu itu ia bertakwa kepada Allah, ia dapat menggunakannya untuk menyambung silaturahmi, dan ia mengetahui bahwa Allah memiliki hak padanya. Ini adalah tingkatan yang paling baik. 2) Seorang hamba yang diberi Allah ilmu, tetapi tidak diberi harta. Namun, ia memiliki niat yang benar sambil berkata, ‘seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan melakukan amalan seperti si fulan.’ Maka, ia (mendapatkan pahala) berdasarkan apa yang dia niatkan. Sehingga keduanya mendapatkan pahala yang sama. 3) Seorang hamba yang diberikan harta, tetapi Allah tidak memberikannya ilmu. Dia menggunakan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak menggunakan hartanya dalam takwa kepada Allah, dia tidak menggunakan untuk menyambung silaturahmi, dan dia juga tidak tahu bahwa Allah memiliki hak atas hartanya. Dan inilah tingkatan terburuk. 4) Seorang hamba yang tidak diberikan Allah harta maupun ilmu, namun ia berkata, ‘seandainya aku memiliki harta, tentu aku akan melakukan apa yang dilakukan fulan.’ Maka, dia berdasarkan niatnya. Sehingga bagi keduanya, mendapatkan dosa yang sama.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidziy no. 2325 dan Ahmad no. 18031).

Wallahu a’lam, demikianlah beberapa amalan yang senilai dengan ibadah haji, dan ini merupakan hiburan bagi kaum muslimin yang belum memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah haji.

Wasallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa aalihi washahbihi anjma’iin. Walhamdu lillahu Rabbil ‘Alamin.